Sabar Saat Disakiti


  Fatimah, putri Rasulullah menangis terisak kala itu. Dengan gaya jumawa, Abu Jahal dan kawan-kawannya saling melempar tantangan, “Siapa diantara kalian yang berani menaruh kotoran unta di punggung Muhammad yang sedang bersujud itu?”. Beranjaklah salah seorang diantara mereka dan benar-benar menaruh kotoran unta di punggung Rasulullah. Rasulullah tetap dalam posisi sujudnya. Datanglah Fatimah, dengan menangis ia membersihkan kotoran yang berada di punggung Rasulullah. Sebuah penghinaan yang keji dari kafir Quraisy kepada Muhammad SAW yang mulia.
Beruntunlah kisah yang lain, bagaimana Rasulullah, manusia termulia mendapatkan perlakuan yang menghinakan. Dicaci, dimaki, dilempar batu, disebut sebagai orang gila, bodoh, tukang sihir, pembohong, diludahi dan bentuk penghinaan lain semuanya telah dialami oleh Rasulullah. Disinilah bagian dari kehendak Allah, tercermin dalam firman-Nya : Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At Taubah : 128) . “berat terasa olehnya penderitaanmu”, jelas tersebut di ayat ini, bagaimana Rasulullah juga merasakan beratnya penderitaan seperti umat-umatnya. Rasulullah ikut merasakan suasana terancam dan terkekang ketika masa awal dakwah di Makkah. Rasulullah ikut merasakan kekurangan bahan makanan ketika diboikot oleh kaum Quraisy.  Rasulullah ikut merasakan sengitnya peperangan. Rasulullah ikut merasakan capek letihnya menggali parit dalam perang Khandaq, dan bahkan ikut mengganjal perutnya dengan tiga batu karena menipisnya logistik di perang itu. Rasulullah pun merasakan wajah beliau terluka dalam perang Uhud. Bahkan, di sisi-sisi terdalam, Rasulullah pun ikut merasakan bagaimana dalam kesehariannya, beliau tidur hanya dengan beralas tikar, hingga membekas di pipinya. Maka, dalam perjalanan dakwahnya, ketika Rasulullah mengajarkan tentang kesabaran, serta merta dakwahnya itu akan mudah untuk didengar dan ditaati, karena yang menyampaikan adalah orang yang sudah teruji sabarnya, yang menjadi contoh terbaik dalam menerapkan kesabarannya.
Tersebutlah kisah tentang ujian keimanan yang harus dirasakan oleh keluarga Sumayyah binti Khayyath. Sumayyah adalah seorang hamba sahaya milik Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah. Ia menikah dengan Yasir bin ‘Amir dan mempunyai anak bernama ‘Amar bin Yasir. Beranjak dewasa, anak ini tertarik pada kabar tentang munculnya nabi baru yang membawa risalah yang sempurna. Singkat cerita, ‘Amar masuk Islam dan langsung mengabarkan ke kedua orang tuanya. Akhirnya, keluarga kecil ini menjadi keluarga muslim. Akan tetapi,
ujian berat harus mereka hadapi untuk mempertahankan keimanan. Abu Hudzaifah marah mendengar keislaman keluarga ini. Setiap harinya, ketiga orang ini digelandang ke padang pasir yang sangat panas untuk disiksa. Sumayyah yang seorang wanita dilempar ke pasir, lalu tubuhnya ditimbun pasir yang sangat panas. Seakan belum puas, Sumayyah lalu ditindih dengan batu besar agar ia tidak bisa bernafas. Lalu mereka memaksanya untuk mengimani berhala-berhala. Namun wanita shalihah ini tetap bertahan dengan keyakinannya karena ingat janji Allah SWT bagi hamba-Nya yang bertaqwa, yaitu syurga. Yasir, Sumayyah, dan ‘Ammar terus mendapatkan siksaan yang sedemikian keji. Mereka didera, dicambuk, disalib di padang gurun yang terik, ditindih dengan batu panas, dibakar dengan besi panas, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulitnya yang penuh dengan luka. Di kala sadar, tidak ada satupun kalimat yang terlontar dari mulut ketiganya kecuali kalimat ”Ahad..Ahad..” seperti yang dilontarkan Bilal bin Rabah. Hal ini tentunya semakin menyulut amarah orang Quraisy yang gagal membalikkan keimanan mereka. Hingga suatu masa, orang Quraisy merasa putus asa dengan kegigihan iman ketiganya, mereka memutuskan menghabisi nyawa sang Muslimah. Adalah Abu Jahal yang menjadi algojo. Dengan tombaknya yang runcing, dialah yang mengeksekusi Sumayyah. Nasib sang mujahidah berakhir ketika tombak Abu Jahal bersarang di dadanya. Menjelang wafatnya, tak sedetik pun Sumayyah menggadaikan keimanannya. Dengan segala yang dimilikinya, ia mempertahankan keyakinannya. Sumayyah binti Khayyath menjadi bukti kesabaran, ketabahan hati, kekuatan iman, dan ketangguhan jiwa. Ia rela mengorbankan segalanya, termasuk jiwa dan raganya demi iman Islamnya. Sumayyah binti Khayyath adalah syahidah pertama Islam. Ia syahid dengan meninggalkan teladan yang luar biasa. Tak heran ia menjadi sosok yang sangat mulia dengan keberaniannya. ”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al Ankabut, 29 : 2).
Bersabar ketika disakiti, akhlak mulia yang sepatutnya kita tumbuhkan dalam diri. Hal ini memang akan terasa berat. Namun, telah begitu banyak manusia yang telah memberikan keteladanan sebagaimana kisah Rasulullah dan Sumayyah. Terlebih lagi, jika mau jujur, sakit yang kita alami, tentunya tidak sesakit apa yang pernah Rasulullah alami. Pernahkah kita sampai diludahi? Apakah kita sampai dilempar batu? Apakah kita sampai dilempar kotoran? Tentunya hal semacam ini sangat jarang terjadi di masa kini. Apalagi jika kita bandingkan dengan sakitnya Sumayyah, apakah kita sampai harus mengorbankan nyawa?. Artinya, sakit yang kita alami di masa sekarang ini, tidaklah pantas untuk kita terlalu mengeluhkannya, apalagi sampai mengatakan “kesabaranku habis!” padahal tidaklah seberapa rasa sakit itu jika dibanding dengan yang dirasakan Rasulullah dan para sahabat.
Kadang pun masih ada yang berdalih, bahwa jika sakitnya itu menyangkut fisik, mungkin akan lebih bisa untuk bersabar. Tapi bagaimana jika yang disakiti itu adalah hati dan perasaan? . jika ini masih saja dijadikan dalih untuk “boleh tidak bersabar”, maka ada baiknya, sekali lagi kita selami perjalanan para nabi. Kali ini tentang Nuh AS.
Dalam QS Nuh : 7 dikisahkan tentang ulah umat nabi Nuh yang begitu menyakitkan perasaan, Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat “. Terbayang bagaimana perasaan kita jika diperlakukan seperti itu? Saat kita berbicara, memberikan nasehat, kemudian lawan bicara kita memasukkan anak jari ke telinga dan menutupkan baju ke muka? Dan kemudian tetap berlaku sombong di hadapan kita. Bukankah ini hal yang paling menjengkelkan dalam proses komunikasi? Bukankah ini sangat menyakitkan perasaan dan hati? .
Dan kalaupun masih ada yang berdalih bahwa jika sakitnya itu cuma sebentar maka akan bisa bersabar dan akan habis kesabaran kalau sakitnya itu berlangsung lama dan berulang-ulang, maka tentang ini nabi Nuh akan memberikan jawaban. “ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim. “ ( QS Al Ankabut : 14 ). Jadi, nabi Nuh harus menghadapi umatnya yang seperti itu selama 950 tahun, waktu yang sungguh lama. Dan beliau bertahan dalam kesabaran. Terus berdakwah dan berdakwah walaupun akhirnya juga hanya sedikit yang mau beriman bersama nabi Nuh. ."…. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.” ( QS Hud : 40). Dan bahkan, tidak selesai sampai disini saja. Ketika sampai pada “akhir masa tugas” nabi Nuh, umatnya pun masih terus saja mengejek dan menyakiti. Dan mulailah Nuh membuat bahtera. “ Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). “ ( QS Hud : 38 ). Dengan ejekan, itulah “salam perpisahan” umat nabi Nuh sebelum akhirnya Allah menurunkan banjir besar yang memenuhi bumi.
Telah sempurna teladan kesabaran yang diberikan para nabi dan para sahabat. Terus bersabar, dan menguatkan kesabaran. Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. “ (QS Ali ‘Imran : 200). Teladan kesabaran yang diberikan harusnya membuat tiada celah lagi untuk berdalih bahwa kesabaran kita sudah habis. Sakitnya fisik, sakitnya hati dan sakitnya perasaanya, seluruhnya bisa diobati dengan kesabaran. Sabarnya Rasulullah, sabarnya Sumayyah, sabarnya Nabi Nuh, ini yang harus kita jadikan pelajaran.
 Dalam hidup ini, cobaan dan ujian adalah keniscayaan. Allah berfirman : “Sungguh, akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155). “Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu...” (Muhammad: 31). Artinya, kita tidak bisa menghindari sunnatullah ini, dan jika ingin bisa lulus darinya, maka kuncinya adalah sabar.
Sabar ketika disakiti, ketika kita mampu melakukannya, maka Allah memberikan ganjaran yang mulia. Sebagaimana tersebut dalam QS Al Baqarah : 155 di atas, bahwa bagi orang-orang yang sabar akan diberikan kabar gembira dan kabar gembira ini adalah dari Allah, tentunya ini nikmat yang besar. Ganjaran yang lain adalah “...Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10). Dicukupkan pahala tanpa batas, ini adalah harga yang sangat pantas untuk kita perjuangan dengan bersabar, seperih apapun kita disakiti.
Dan tentunya, satu ayat yang sudah banyak dihafal orang para muslimin, innallaha ma’asshobiriin, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar (QS Al Baqarah : 153). Dibersamai Allah, tentu ini adalah nikmat yang sungguh besar. Merasakan kedekatan dengan Allah, sehingga hati kita merasa tenang dan tentram dalam kesabaran, maka inilah sumber kebahagiaan.

Semoga, setelah ini, tiada lagi alasan untuk tidak bersabar, sepedih apapun cobaan dan ujian yang kita rasakan. Mari kita maknai, sesakit apapun ia, maka ujian dan cobaan adalah bagian untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Jika ujian dan cobaan dari Allah adalah yang mudah-mudah saja, tentu kita tidak akan mendapatkan ganjaran yang hebat. Dengan sepenuh keimanan mari kita meyakini bahwa setiap detiknya ketika kita bersabar, maka disitulah cara kita untuk semakin mendekat ke surga-Nya. [mukti_give]