Beruntunlah kisah yang lain, bagaimana
Rasulullah, manusia termulia mendapatkan perlakuan yang menghinakan. Dicaci,
dimaki, dilempar batu, disebut sebagai orang gila, bodoh, tukang sihir, pembohong,
diludahi dan bentuk penghinaan lain semuanya telah dialami oleh Rasulullah.
Disinilah bagian dari kehendak Allah, tercermin dalam firman-Nya : Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin. (At Taubah : 128) . “berat terasa olehnya
penderitaanmu”, jelas tersebut di ayat ini, bagaimana Rasulullah juga merasakan
beratnya penderitaan seperti umat-umatnya. Rasulullah ikut merasakan suasana
terancam dan terkekang ketika masa awal dakwah di Makkah. Rasulullah ikut merasakan
kekurangan bahan makanan ketika diboikot oleh kaum Quraisy. Rasulullah ikut merasakan sengitnya
peperangan. Rasulullah ikut merasakan capek letihnya menggali parit dalam
perang Khandaq, dan bahkan ikut mengganjal perutnya dengan tiga batu karena
menipisnya logistik di perang itu. Rasulullah pun merasakan wajah beliau
terluka dalam perang Uhud. Bahkan, di sisi-sisi terdalam, Rasulullah pun ikut
merasakan bagaimana dalam kesehariannya, beliau tidur hanya dengan beralas
tikar, hingga membekas di pipinya. Maka, dalam perjalanan dakwahnya, ketika
Rasulullah mengajarkan tentang kesabaran, serta merta dakwahnya itu akan mudah
untuk didengar dan ditaati, karena yang menyampaikan adalah orang yang sudah
teruji sabarnya, yang menjadi contoh terbaik dalam menerapkan kesabarannya.
Tersebutlah kisah tentang ujian keimanan yang harus dirasakan oleh
keluarga Sumayyah binti Khayyath. Sumayyah adalah seorang
hamba sahaya milik Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah. Ia menikah dengan Yasir bin
‘Amir dan mempunyai anak bernama ‘Amar bin Yasir. Beranjak dewasa, anak ini
tertarik pada kabar tentang munculnya nabi baru yang membawa risalah yang sempurna.
Singkat cerita, ‘Amar masuk Islam dan langsung mengabarkan ke kedua orang
tuanya. Akhirnya, keluarga kecil ini menjadi keluarga muslim. Akan tetapi,
ujian berat harus mereka hadapi untuk mempertahankan keimanan. Abu Hudzaifah marah mendengar keislaman keluarga ini. Setiap harinya, ketiga orang ini digelandang ke padang pasir yang sangat panas untuk disiksa. Sumayyah yang seorang wanita dilempar ke pasir, lalu tubuhnya ditimbun pasir yang sangat panas. Seakan belum puas, Sumayyah lalu ditindih dengan batu besar agar ia tidak bisa bernafas. Lalu mereka memaksanya untuk mengimani berhala-berhala. Namun wanita shalihah ini tetap bertahan dengan keyakinannya karena ingat janji Allah SWT bagi hamba-Nya yang bertaqwa, yaitu syurga. Yasir, Sumayyah, dan ‘Ammar terus mendapatkan siksaan yang sedemikian keji. Mereka didera, dicambuk, disalib di padang gurun yang terik, ditindih dengan batu panas, dibakar dengan besi panas, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulitnya yang penuh dengan luka. Di kala sadar, tidak ada satupun kalimat yang terlontar dari mulut ketiganya kecuali kalimat ”Ahad..Ahad..” seperti yang dilontarkan Bilal bin Rabah. Hal ini tentunya semakin menyulut amarah orang Quraisy yang gagal membalikkan keimanan mereka. Hingga suatu masa, orang Quraisy merasa putus asa dengan kegigihan iman ketiganya, mereka memutuskan menghabisi nyawa sang Muslimah. Adalah Abu Jahal yang menjadi algojo. Dengan tombaknya yang runcing, dialah yang mengeksekusi Sumayyah. Nasib sang mujahidah berakhir ketika tombak Abu Jahal bersarang di dadanya. Menjelang wafatnya, tak sedetik pun Sumayyah menggadaikan keimanannya. Dengan segala yang dimilikinya, ia mempertahankan keyakinannya. Sumayyah binti Khayyath menjadi bukti kesabaran, ketabahan hati, kekuatan iman, dan ketangguhan jiwa. Ia rela mengorbankan segalanya, termasuk jiwa dan raganya demi iman Islamnya. Sumayyah binti Khayyath adalah syahidah pertama Islam. Ia syahid dengan meninggalkan teladan yang luar biasa. Tak heran ia menjadi sosok yang sangat mulia dengan keberaniannya. ”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al Ankabut, 29 : 2).
ujian berat harus mereka hadapi untuk mempertahankan keimanan. Abu Hudzaifah marah mendengar keislaman keluarga ini. Setiap harinya, ketiga orang ini digelandang ke padang pasir yang sangat panas untuk disiksa. Sumayyah yang seorang wanita dilempar ke pasir, lalu tubuhnya ditimbun pasir yang sangat panas. Seakan belum puas, Sumayyah lalu ditindih dengan batu besar agar ia tidak bisa bernafas. Lalu mereka memaksanya untuk mengimani berhala-berhala. Namun wanita shalihah ini tetap bertahan dengan keyakinannya karena ingat janji Allah SWT bagi hamba-Nya yang bertaqwa, yaitu syurga. Yasir, Sumayyah, dan ‘Ammar terus mendapatkan siksaan yang sedemikian keji. Mereka didera, dicambuk, disalib di padang gurun yang terik, ditindih dengan batu panas, dibakar dengan besi panas, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulitnya yang penuh dengan luka. Di kala sadar, tidak ada satupun kalimat yang terlontar dari mulut ketiganya kecuali kalimat ”Ahad..Ahad..” seperti yang dilontarkan Bilal bin Rabah. Hal ini tentunya semakin menyulut amarah orang Quraisy yang gagal membalikkan keimanan mereka. Hingga suatu masa, orang Quraisy merasa putus asa dengan kegigihan iman ketiganya, mereka memutuskan menghabisi nyawa sang Muslimah. Adalah Abu Jahal yang menjadi algojo. Dengan tombaknya yang runcing, dialah yang mengeksekusi Sumayyah. Nasib sang mujahidah berakhir ketika tombak Abu Jahal bersarang di dadanya. Menjelang wafatnya, tak sedetik pun Sumayyah menggadaikan keimanannya. Dengan segala yang dimilikinya, ia mempertahankan keyakinannya. Sumayyah binti Khayyath menjadi bukti kesabaran, ketabahan hati, kekuatan iman, dan ketangguhan jiwa. Ia rela mengorbankan segalanya, termasuk jiwa dan raganya demi iman Islamnya. Sumayyah binti Khayyath adalah syahidah pertama Islam. Ia syahid dengan meninggalkan teladan yang luar biasa. Tak heran ia menjadi sosok yang sangat mulia dengan keberaniannya. ”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al Ankabut, 29 : 2).
Bersabar ketika disakiti, akhlak mulia yang
sepatutnya kita tumbuhkan dalam diri. Hal ini memang akan terasa berat. Namun,
telah begitu banyak manusia yang telah memberikan keteladanan sebagaimana kisah
Rasulullah dan Sumayyah. Terlebih lagi, jika mau jujur, sakit yang kita alami,
tentunya tidak sesakit apa yang pernah Rasulullah alami. Pernahkah kita sampai
diludahi? Apakah kita sampai dilempar batu? Apakah kita sampai dilempar
kotoran? Tentunya hal semacam ini sangat jarang terjadi di masa kini. Apalagi
jika kita bandingkan dengan sakitnya Sumayyah, apakah kita sampai harus
mengorbankan nyawa?. Artinya, sakit yang kita alami di masa sekarang ini,
tidaklah pantas untuk kita terlalu mengeluhkannya, apalagi sampai mengatakan
“kesabaranku habis!” padahal tidaklah seberapa rasa sakit itu jika dibanding
dengan yang dirasakan Rasulullah dan para sahabat.
Kadang pun masih ada yang berdalih, bahwa jika
sakitnya itu menyangkut fisik, mungkin akan lebih bisa untuk bersabar. Tapi
bagaimana jika yang disakiti itu adalah hati dan perasaan? . jika ini masih
saja dijadikan dalih untuk “boleh tidak bersabar”, maka ada baiknya, sekali
lagi kita selami perjalanan para nabi. Kali ini tentang Nuh AS.
Dalam QS Nuh : 7 dikisahkan tentang ulah umat nabi
Nuh yang begitu menyakitkan perasaan, “ Dan sesungguhnya setiap kali
aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka
memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya
(kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat
“. Terbayang bagaimana perasaan kita jika diperlakukan seperti itu? Saat
kita berbicara, memberikan nasehat, kemudian lawan bicara kita memasukkan anak
jari ke telinga dan menutupkan baju ke muka? Dan kemudian tetap berlaku sombong
di hadapan kita. Bukankah ini hal yang paling menjengkelkan dalam proses komunikasi?
Bukankah ini sangat menyakitkan perasaan dan hati? .
Dan kalaupun masih ada yang berdalih bahwa jika sakitnya
itu cuma sebentar maka akan bisa bersabar dan akan habis kesabaran kalau
sakitnya itu berlangsung lama dan berulang-ulang, maka tentang ini nabi Nuh
akan memberikan jawaban. “ Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara
mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar,
dan mereka adalah orang-orang yang zalim. “ ( QS Al Ankabut : 14 ). Jadi,
nabi Nuh harus menghadapi umatnya yang seperti itu selama 950 tahun, waktu yang
sungguh lama. Dan beliau bertahan dalam kesabaran. Terus berdakwah dan
berdakwah walaupun akhirnya juga hanya sedikit yang mau beriman bersama nabi
Nuh. ."…. Dan tidak beriman bersama
dengan Nuh itu kecuali sedikit.” ( QS Hud : 40). Dan bahkan, tidak selesai
sampai disini saja. Ketika sampai pada “akhir masa tugas” nabi Nuh, umatnya pun
masih terus saja mengejek dan menyakiti. Dan
mulailah Nuh membuat bahtera. “ Dan
setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya.
Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun)
mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). “ ( QS Hud : 38 ). Dengan
ejekan, itulah “salam perpisahan” umat nabi Nuh sebelum akhirnya Allah
menurunkan banjir besar yang memenuhi bumi.
Telah sempurna teladan kesabaran yang diberikan para nabi dan para
sahabat. Terus bersabar, dan menguatkan kesabaran. “ Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. “ (QS Ali ‘Imran : 200). Teladan kesabaran yang diberikan harusnya membuat tiada celah lagi
untuk berdalih bahwa kesabaran kita sudah habis. Sakitnya fisik, sakitnya hati
dan sakitnya perasaanya, seluruhnya bisa diobati dengan kesabaran. Sabarnya
Rasulullah, sabarnya Sumayyah, sabarnya Nabi Nuh, ini yang harus kita jadikan
pelajaran.
Dalam hidup ini, cobaan dan ujian
adalah keniscayaan. Allah berfirman : “Sungguh,
akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155). “Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami
mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu...” (Muhammad:
31). Artinya,
kita tidak bisa menghindari sunnatullah
ini, dan jika ingin bisa lulus darinya, maka kuncinya adalah sabar.
Sabar ketika disakiti, ketika kita mampu melakukannya, maka Allah
memberikan ganjaran yang mulia. Sebagaimana tersebut dalam QS Al Baqarah : 155
di atas, bahwa bagi orang-orang yang sabar akan diberikan kabar gembira dan
kabar gembira ini adalah dari Allah, tentunya ini nikmat yang besar. Ganjaran
yang lain adalah “...Sesungguhnya, hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(Az-Zumar: 10). Dicukupkan pahala tanpa batas, ini adalah harga yang sangat
pantas untuk kita perjuangan dengan bersabar, seperih apapun kita disakiti.
Dan tentunya, satu ayat yang sudah banyak dihafal orang para muslimin, innallaha ma’asshobiriin, sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang sabar (QS Al Baqarah : 153). Dibersamai Allah,
tentu ini adalah nikmat yang sungguh besar. Merasakan kedekatan dengan Allah,
sehingga hati kita merasa tenang dan tentram dalam kesabaran, maka inilah
sumber kebahagiaan.
Semoga, setelah ini, tiada lagi alasan untuk tidak bersabar, sepedih
apapun cobaan dan ujian yang kita rasakan. Mari kita maknai, sesakit apapun ia,
maka ujian dan cobaan adalah bagian untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kita kepada Allah. Jika ujian dan cobaan dari Allah adalah yang mudah-mudah
saja, tentu kita tidak akan mendapatkan ganjaran yang hebat. Dengan sepenuh
keimanan mari kita meyakini bahwa setiap detiknya ketika kita bersabar, maka
disitulah cara kita untuk semakin mendekat ke surga-Nya. [mukti_give]