Melik

“Wah, HP baru nih?” celetuk Laras.
“Hehehe, iya, hadiah ulang tahun dari Papa,” jawab Tiara senang.
Laras, Tiara, dan Wening sedang duduk-duduk di taman kampus, menunggu jadwal kuliah berikutnya. Tiara dan Laras terus membahas kecanggihan HP keluaran terbaru itu. Mendengar obrolan Laras dan Tiara, Wening hanya menoleh sesaat, tersenyum, lalu asyik kembali dengan novel di tangannya. Berbeda dengan ibu muda berseragam merah khas perusahaan cleaning service langganan kampus yang berdiri mematung di pojok gedung. Ibu itu terdiam dari kesibukannya, nyaris tak berkedip menatap mereka, tepatnya HP di tangan Tiara.
Hadiah ulang tahun? Anaknya tidak lama lagi berulang tahun. Berapa hari lagi ya? “Empat hari,” desis ibu muda itu. Sari namanya. Sejak ulang tahun pertama Anton, anaknya, sampai yang ketujuh di tahun lalu, selalu ada hadiah sederhana yang memeriahkan hari istimewa itu. Tapi untuk besok… bagaimana, ya? Pikirnya resah.
Wajar Sari resah. Semalam, untuk pertama kalinya Anton menyebutkan hadiah yang dia inginkan pada hari ulang tahunnya. Sebuah HP. Persis seperti yang saat itu sedang dipegang Tiara, mahasiswi cantik teman Wening. Ah, Wening, gadis ramah itu sudah dua bulan menjadi pengasuh TPA di masjid kampungnya. Wening yang mengajar Anton dan kawan-kawannya mengeja A-Ba-Ta.
Kembali lagi tentang hadiah itu. Sari tidak habis pikir, sejak kapan anaknya jadi penuntut? Biasanya Anton tidak pernah macam-macam. Seolah dia bisa mengerti keadaan ekonomi orang tuanya yang harus banting tulang untuk sekedar memenuhi kebutuhan perut. Apalagi tahun ini Anton mulai bersekolah. Makin banyaklah yang harus dipenuhi.
Atau jangan-jangan, Anton terpengaruh teman-temannya di sekolah? Anak sekecil itu, sudah minta-minta HP pula ke ibunya. Buat apa coba? Sari masih termenung-menung di pojokan gedung. Padahal masih banyak pekerjaan yang belum sempat dia sentuh. Sedangkan tiga mahasiswi tadi sudah beranjak masuk kelas.
Akhirnya wanita itu tersadar juga. Cepat-cepat diselesaikannya semua tugas bersih-bersih harian yang jadi tanggung jawabnya. Satu hari pun berlalu lagi. Tiba saatnya merancang strategi untuk membujuk Anton agar tidak minta HP lagi.
Sepulang kerja, Sari melihat anaknya masih tergolek di kasur. Sudah sore sekali, maka dibangunkannya Anton, lalu diperintahnya untuk mandi dan berangkat ngaji. Sembari menunggu suami dan anaknya pulang, Sari lantas sibuk dengan pekerjaan rumah tangga.
Tak berapa lama, sang suami datang, dan seperti biasa, minta makan. Sari juga belum makan, jadi mereka makan bersama. Sambil makan, mereka berbincang-bincang tentang anak mereka.
Suami Sari tak kalah heran. Belum lama, anaknya habis minta layang-layang. Sudah dibuatkan, tapi bukannya senang, Anton malah merajuk. Katanya layang-layang buatan bapaknya itu jelek, tidak seperti punya teman-temannya. Usut punya usut, yang dimaksud Anton adalah layang-layang yang besar dan rangkanya berbentuk unik, seperti capung, burung, dsb.
Sepertinya anak mereka memang mulai terpengaruh teman-temannya. Mereka pun sepakat mengajak bicara Anton sepulangnya dari TPA.
*0*
“Pak, Pak, tahu nggak? Tadi kata Mbak Wening, kita nggak boleh sombong dan suka pamer kekayaan. Gitu Pak,” ujar Anton berapi-api. Sari dan suaminya saling pandang. Kok, pas banget? Alamat pembicaraan ini akan mulus.
“Wah, iya. Bener itu kata Mbak Wening. Terus, Mbak Wening bilang apa lagi?” pancing sang bapak.
“Katanya, kita juga nggak boleh gampang ‘melik,’ dikit-dikit kepingin punyanya teman. Tapi Pak, kan enak kalau punya mainan yang kayak punya teman-teman..”
“Lha, kalau mainannya sama semua, ya bosen ta! Kalau mainannya macam-macam, kan bisa saling pinjam, tukeran sama teman, jadi nggak bosen,” Sari mencoba menjelaskan.
“Kalau temannya nggak mau dipinjemi?” kejar Anton.
“Ya sudah, main yang ada aja. Makanya Anton jangan pelit, kalau temennya pinjem dikasih. Jadi besok-besok kalau mau pinjem, teman-teman juga nggak pelit sama Anton,” tutur bapak Anton.
“Oh iya, Anton beneran mau minta HP buat hadiah ulang tahun besok? Mau buat apa, sih HPnya?” tanya ibunya. Ternyata hanya mau dipakai bermain game! “Anton tahu HP itu harganya berapa?” tanya Sari lagi. Anton menggeleng pelan.
“Nak, HP itu mahal sekali. Bapak-Ibu nggak punya uang sebanyak itu. Hadiahnya yang lain aja ya?” Sari membujuk hati-hati.

“Mahal ta, Bu? Ya sudah, nggak usah aja. Kan nggak boleh suka melik kekayaan orang,” jawab Anton. Bapak dan ibunya seketika tersenyum lega.