Hidup
ini memang ujian. Seperti apa pun warna hidup yang Allah berikan kepada seorang
hamba, tak luput dari yang namanya ujian. Bersabarkah sang hamba, atau menjadi
kufur dan durhaka.
Dari
sudut pandang teori, semua orang yang beriman mengakui itu. Sangat memahami
bahwa susah dan senang itu sebagai ujian. Tapi, bagaimana jika ujian itu
berwujud dalam kehidupan nyata. Mampukah?
Hal
itulah yang pernah dialami Bu Khairiyah.
Semua
diawali pada tahun 1992.
Waktu
itu, Allah mempertemukan jodoh Khairiyah dengan seorang pemuda yang belum ia
kenal. Perjodohan itu berlangsung melalui sang kakak yang prihatin dengan
adiknya yang belum juga menikah. Padahal usianya sudah nyaris tiga puluh tahun.
Bagi
Khairiyah, pernikahan merupakan pintu ibadah yang di dalamnya begitu banyak
amal ibadah yang bisa ia raih. Karena itulah, ia tidak mau mengawali pintu itu
dengan sesuatu yang tidak diridhai Allah.
Ia
sengaja memilih pinangan melalui sang kakak karena dengan cara belum mengenal
calon itu bisa lebih menjaga keikhlasan untuk memasuki jenjang pernikahan. Dan
berlangsunglah pernikahan yang tidak dihadiri ibu dan ayah Khairiyah. Karena,
keduanya memang sudah lama dipanggil Allah ketika Khairiyah masih sangat belia.
Hari-hari
berumah tangga pun dilalui Khairiyah dengan penuh bahagia. Walau sang suami
hanya seorang sopir di sebuah perusahaan pariwisata, ia merasa cukup dengan
yang ada.
Keberkahan
di rumah tangga Khairiyah pun mulai tampak. Tanpa ada jeda lagi, Khairiyah langsung
hamil. Ia dan sang suami pun begitu bahagia. "Nggak lama lagi, kita punya
momongan, Bang!" ujarnya kepada sang suami.
Mulailah
hari-hari ngidam yang merepotkan pasangan baru ini. Tapi buat Khairiyah,
semuanya berlalu begitu menyenangkan.
Dan,
yang ditunggu pun datang. Bayi pertama Bu Khairiyah lahir. Ada kebahagiaan,
tapi ada juga kekhawatiran.
Mungkin,
inilah kekhawatiran pertama untuk pasangan ini. Dari sinilah, ujian berat itu
mulai bergulir.
Dokter
menyatakan bahwa bayi pertama Bu Khairiyah prematur. Sang bayi lahir di usia
kandungan enam bulan. Ia bernama Dina.
Walau
dokter mengizinkan Dina pulang bersama ibunya, tapi harus terus berobat jalan.
Dan tentu saja, urusan biaya menjadi tak terelakkan untuk seorang suami Bu
Khairiyah yang hanya sopir.
Setidaknya,
dua kali sepekan Bu Khairiyah dan suami mondar-mandir ke dokter untuk periksa
Dina. Kadang karena kesibukan suami, Bu Khairiyah mengantar Dina sendirian.
Beberapa
bulan kemudian, Allah memberikan kabar gembira kepada Bu Khairiyah. Ia hamil untuk
anak yang kedua.
Bagi
Bu Khairiyah, harapan akan hiburan dari anak kedua mulai berbunga. Biarlah anak
pertama yang menjadi ujian, anak kedua akan menjadi pelipur lara. Begitulah
kira-kira angan-angan Bu Khairiyah dan suami.
Dengan
izin Allah, anak kedua Bu Khairiyah lahir dengan selamat. Bayi itu pun
mempunyai nama Nisa. Lahir di saat sang kakak baru berusia satu tahun. Dan
lahir, saat sang kakak masih tetap tergolek layaknya pasien berpenyakit dalam.
Tidak bisa bicara dan merespon. Bahkan, merangkak dan duduk pun belum mampu.
Suatu ketidaklaziman untuk usia bayi satu tahun.
Beberapa
minggu berlalu setelah letih dan repotnya Bu Khairiyah menghadapi kelahiran.
Allah memberikan tambahan ujian kedua buat Bu Khairiyah dan suami. Anak
keduanya, Nisa, mengalami penyakit aneh yang belum terdeteksi ilmu kedokteran.
Sering panas dan kejang, kemudian normal seperti tidak terjadi apa-apa. Begitu
seterusnya.
Hingga
di usia enam bulan pun, Nisa belum menunjukkan perkembangan normal layaknya
seorang bayi. Ia mirip kakaknya yang tetap saja tergolek di pembaringan.
Jadilah Bu Khairiyah dan suami kembali mondar-mandir ke dokter dengan dua anak
sekaligus.
Di
usia enam bulan Nisa, Allah memberikan kabar gembira untuk yang ketiga kalinya
buat Bu Khairiyah dan suami. Ternyata, Bu Khairiyah hamil.
Belum
lagi anak keduanya genap satu tahun, anak ketiga Bu Khairiyah lahir. Saat itu,
harapan kedatangan sang pelipur lara kembali muncul. Dan anak ketiganya itu
bayi laki-laki. Namanya, Fahri.
Mulailah
hari-hari sangat merepotkan dilakoni Bu Khairiyah. Bayangkan, dua anaknya belum
terlihat tanda-tanda kesembuhan, bayi ketiga pun ikut menyita perhatian sang
ibu.
Tapi,
kerepotan itu masih terus tertutupi oleh harapan Bu Khairiyah dengan hadirnya
penghibur Fahri yang mulai berusia satu bulan.
Sayangnya,
Allah berkehendak lain. Apa yang diangankan Bu Khairiyah sama sekali tidak
cocok dengan apa yang Allah inginkan. Fahri, menghidap penyakit yang mirip
kakak-kakaknya. Ia seperti menderita kelumpuhan.
Jadilah,
tiga bayi yang tidak berdaya menutup seluruh celah waktu dan biaya Bu Khairiyah
dan suami. Hampir semua barang berharga ia jual untuk berobat. Mulai dokter,
tukang urut, herbal, dan lain-lain. Tetap saja, perubahan belum nampak di
anak-anak Bu Khairiyah.
Justru,
perubahan muncul pada suami tercinta. Karena sering kerja lembur dan kurang
istirahat, suami Bu Khairiyah tiba-tiba sakit berat. Perutnya buncit, dan
hampir seluruh kulitnya berwarna kuning.
Hanya
sekitar sepuluh jam dalam perawatan rumah sakit, sang suami meninggal dunia. September
tahun 2001 itu, menjadi titik baru perjalanan Bu Khairiyah dengan cobaan baru
yang lebih kompleks dari sebelumnya. Dan, tinggallah sang ibu menghadapi
rumitnya kehidupan bersama tiga balita yang sakit, tetap tergolek, dan belum
memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan.
Tiga
bulan setelah kematian suami, Allah menguji Bu Khairiyah dengan sesuatu yang
pernah ia alami sebelumnya. Fahri, si bungsu, ikut pergi untuk selamanya.
Kadang
Bu Khairiyah tercenung dengan apa yang ia lalui. Ada sesuatu yang hampir tak
pernah luput dari hidupnya, air mata.
Selama
sembilan tahun mengarungi rumah tangga, air mata seperti tak pernah berhenti
menitik di kedua kelopak mata ibu yang lulusan 'aliyah ini. Semakin banyak
sanak kerabat berkunjung dengan maksud menyudahi tetesan air mata itu, kian
banyak air matanya mengalir. Zikir dan istighfar terus terucap bersamaan
tetesan air mata itu.
Bu
Khairiyah berusaha untuk berdiri sendiri tanpa menanti belas kasihan tetangga
dan sanak kerabat. Di sela-sela kesibukan mengurus dua anaknya yang masih tetap
tergolek, ia berdagang makanan. Ada nasi uduk, pisang goreng, bakwan, dan
lain-lain.
Pada
bulan Juni 2002, Allah kembali memberikan cobaan yang mungkin menjadi klimaks
dari cobaan-cobaan sebelumnya.
Pada
tanggal 5 Juni 2002, Allah memanggil Nisa untuk meninggalkan dunia buat
selamanya. Bu Khairiyah menangis. Keluarga besar pun berduka. Mereka mengurus
dan mengantar Nisa pergi untuk selamanya.
Entah
kenapa, hampir tak satu pun sanak keluarga Bu Khairiyah yang ingin kembali ke
rumah masing-masing. Mereka seperti ingin menemani Khairiyah untuk hal lain
yang belum mereka ketahui.
Benar
saja, dua hari setelah kematian Nisa, Nida pun menyusul. Padahal, tenda dan
bangku untuk sanak kerabat yang datang di kematian Nisa belum lagi dirapikan.
Inilah
puncak dari ujian Allah yang dialami Bu Khairiyah sejak pernikahannya.
Satu
per satu, orang-orang yang sebelumnya tak ada dalam hidupnya, pergi untuk
selamanya. Orang-orang yang begitu ia cintai. Dan akhirnya menjadi orang-orang
yang harus ia lupai.
Kalau
hanya sekadar air mata yang ia perlihatkan, nilai cintanya kepada orang-orang
yang pernah bersamanya seperti tak punya nilai apa-apa.
Hanya
ada satu sikap yang ingin ia perlihatkan agar semuanya bisa bernilai tinggi.
Yaitu, sabar. "Insya Allah, semua itu menjadi tabungan saya buat tiket ke
surga," ucap Bu Khairiyah kepada Eramuslim. (sumber : http://www.eramuslim.com)