Sebelumnya ia seorang pedagang sukses.
Hidupnya lapang. Dengan penuh semangat ia mencari rezeki ke pasar. Tapi
segalanya berubah sejak suatu malam yang belum lagi larut. Ia memenuhi undangan
seorang temannya sesama pedagang pasar. Di tengah jalan, tiba-tiba ia melihat
banyak lilin menyala di dekat sebuah toko. Di dekat lilin itu berserakan kayu.
Sedang pintu toko itu sedikit terbuka.
Seketika ia berusaha menjauhkan api-api
itu, sebab bila tidak akan membakar kayu-kayu dan kemudian toko itu. Ia
bergegas melihat apa yang terjadi. Ia masuk ke toko itu, setelah sebelumnya
menyingkirkan api yang mulai membakar kayu. Betapa terkejutnya ketika ia sampai
di dalam toko, ada seonggok mayat lelaki yang baru saja terbunuh, dengan pisau
yang masih menancap di dadanya.
Rupanya orang itu dibunuh, kemudian
pelakunya hendak menghilangkan jejak dengan membakar toko itu. Seperti
kisah-kisah klasik tentang kebakaran toko atau pasar di masa kini yang sulit
dibedakan antara terbakar sendiri atau dibakar. Sejak dulu, kebakaran dan
pembakaran, mungkin benar-benar hanya beda pada huruf-huruf awalnya, tapi tidak
substansinya.
Pada saat ia ada di dalam toko itu,
bersamaan dengan itu lewatlah para petugas ronda. Salah seorang mereka
diperintahkan komandannya untuk masuk. Begitu masuk ke dalam toko, petugas
ronda mendapati lelaki tua itu bersama seonggok mayat di dekatnya. Maka, tanpa
ampun lagi, ia pun dituduh sebagai pembunuhnya.
Lelaki itu diseret ke tempat interogasi.
Ia dipukuli, disiksa dengan tuduhan sebagai pembunuh. Tetapi ia tetap tidak mau
mengaku, karena memang bukan dia yang melakukannya. Keluarganya berkumpul,
membawa bukti-bukti dan saksi. Akhirnya ia tidak dihukum mati. Sebagai
gantinya, ia dimasukkan ke penjara bawah tanah dengan siksaan yang tak pernah
henti setiap hari.
Tahun demi tahun berlalu dengan penuh
kepedihan. Ini benar-benar kesulitan diatas kesulitan. Enam belas tahun
bukanlah waktu yang singkat. Tapi lelaki itu tak pernah berhenti berharap.
Kesulitan harus punya takdir selesainya. “Demi Allah, aku adalah orang yang
terdzolimi. Apa pedulimu?! Demi Allah, aku tidak akan berputus asa dengan siksaan
seperti ini dari mengharap anugerah Allah. Pasti sesaat demi sesaat kelapangan
pasti akan tiba,” ucap lelaki itu kepada Abu Ali Al Wakil, seorang tokoh ulama
di masa itu yang menemuinya di penjara bawah tanah.
Tiba-tiba terdengar suara sangat gaduh.
Penjara dijebol dan banyak orang yang bisa menerobos ke penjara bawah tanah.
Setelah itu, mereka mengeluarkan semua orang yang ada di sana, termasuk
laki-laki tua tadi. Hari itu ternyata telah terjadi kekacauan besar melawan
kekuasaan Al Muqtadir. Melengkapi kisah tanah Irak yang tak pernah berhenti
bergolak, dari dulu hingga sekarang. Kisah Al Wakil tentang lelaki tua itupun
berhenti disitu. Huru hara meluas, manusia berhamburan. Lelaki itu berjalan
tertatih, lalu lenyap mengiringi Irak yang bergumul dalam pertikaian politik
dan gejolak sosial.
Lelaki itu mungkin hanya meninggalkan
sepotong kalimat,” Aku tidak akan berputus asa dari mengharap anugerah Allah.”
Sepertinya sederhana, pendek dan sepintas hanya terkesan kalimat basa-basi
orang-orang yang harus menghibur dirinya sendiri. Tapi sejujurnya, itulah inti
segalanya.
Enam belas tahun bukan waktu yang
singkat. Sepanjang itu, dia harus meyakini dua hal sekaligus. Yakin, bahwa
dirinya tidak salah. Dan karenanya ia yakin akan pertolongan Allah. Itu
keyakinan kedua yang lebih sulit. Sebab yang ia rasakan secara fisik
benar-benar mengguncang. Seorang tua harus menanggung beban dan siksaan fisik
dalam waktu selama itu.
Dan kalau boleh kami menambahkan,
keyakinan ketiga yang dipegang erat oleh lelaki tua ini adalah tentang sifat
Allah, yang Maha Tahu, Maha Melihat. Ketika di awal kisah ini kita tahu, dalam
pandangan petugas ronda, tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki tua ini adalah
satu-satunya tersangka, karena sedang berada dalam toko dan bersamanya ada
seonggok mayat. Itulah pandangan manusia. Akan tetapi, lelaki itu sangat paham
bahwa Allah Maha Melihat, dan Allah pasti akan menunjukkan jalan kebenaran.
Meyakini bahwa Allah Maha tahu, Maha Melihat dan karena itulah ia tak henti
berharap.
Itulah rahasia iman. Orang-orang beriman
selalu punya caranya sendiri untuk bisa menata hatinya, meski berlawanan dengan
apa yang dilihat oleh matanya, atau apa yang dirasakan oleh fisiknya, atau apa
yang ia terima dalam kehidupannya. Saat ia mendapat musibah, air matanya
mengalir, tapi hatinya terilhami untuk meyakini bahwa apa yang diberikan Allah
pada dirinya pasti yang terbaik baginya. Saat ia mendapatkan kesulitan demi
kesulitan seakan berentetan tanpa ujung, fisiknya mungkin lelah. Kepalanya
mungkin pusing. Pikirannya mungkin sangat penat. Tapi itu justru mengilhami
hatinya untuk terus meyakini bahwa bila seorang diuji oleh Allah, itu tandanya
Allah masih sayang dengan orang itu.
Allah Maha Tahu, Allah Maha Melihat.
Kita harus berupaya menanamkan pemahaman yang benar tentang sifat Allah ini
karena efeknya akan sangat baik bagi kehidupan kita. Yakin bahwa Allah Maha
Melihat, maka kita tidak akan begitu mudah untuk berbuat maksiat. Di sisi lain,
kita juga akan memiliki keteguhan untuk terus berbuat baik, walaupun mungkin
tanpa tepuk tangan, pujian dan apresiasi yang pantas dari manusia, tetapi kita
yakin bahwa Allah melihat amal kita itu, dan Allah pasti mencatatnya serta
kelak pasti berbalas kebaikan pula dari-Nya. Hal jazaaul ihsan illal-ihsan. Tiada balasan untuk kebaikan melaikan
kebaikan pula (Ar Rahmaan:60).
Jika kisah lelaki tua di atas adalah
tentang keyakinan bahwa Allah Maha Melihat segala amal kebaikan dan kebenaran
yang manusia lakukan sehingga menumbuhkan harapan, maka 2 kisah berikut ini
adalah tentang keyakinan bahwa Allah Maha Melihat yang menumbuhkan sifat enggan
bahkan takut pada diri manusia untuk berbuat salah dan maksiat.
Alkisah, suatu hari Sayyidina Umar bin
Khattab berkeliling meninjau wilayah perkampungannya. Di tengah perjalanan,
Umar melihat seorang budak kecil yang sedang menggembala puluhan kambing. Dalam
benaknya, Umar ingin menguji kepintaran budak kecil si penggembala kambing
tersebut. Umar lalu mendekati budak itu dan mengutarakan niatnya untuk membeli
sebuah kambing yang digembala si bocah. “Nak, kambingmu saya beli satu boleh?”
tanya Umar mengawali perbincangannya. “Saya ini budak, saya tidak memiliki
kewenangan untuk menjual kambing ini. Semua kambing milik majikan saya tuan,” jawab
si penggembala dengan kejujurannya. “Meski milik majikanmu, kalau saya beli
satu nanti kamu laporan kepada majikan bahwa kambing yang kamu gembala dimakan
macan satu ekor,” timpal Umar menguji dengan pura-pura mengajari sikap
berbohong.
Dalam pikiran Umar, si budak ini pasti
akan melepaskan satu ekor untuk dijual kepadanya. Namun tak diduga si Budak
kecil ini memberikan jawaban lain. “Saya tidak mau melakukan itu tuan, karena
semuanya nanti bisa kelihatan. Meski juragan (pemilik kambing) tidak tahu
tetapi Allah akan mengerti dan mengetahui yang saya lakukan,” jawab si budak
tegas. Mendengar jawaban itu, Sayyidina Umar seketika menangis seraya
menepuk-nepuk bangga di pundak punggung si budak. Dari peristiwa ini, Sayyidina
Umar mendapat ilmu dari bocah penggembala.
Kisah yang kedua, masih tentang Umar bin
Khattab, kali ini dengan penjual susu. Khalifah Umar bin Khattab sering
melakukan ronda malam sendirian. Sepanjang malam ia memeriksa keadaan rakyatnya
langsung dari dekat. Ketika melewati sebuah gubuk, Khalifah Umar merasa curiga
melihat lampu yang masih menyala. Di dalamnya terdengar suara orang
berbisik-bisik.
Khalifah Umar menghentikan langkahnya.
Ia penasaran ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Dari balik bilik
Kalifah umar mengintipnya. Tampaklah seorang ibu dan anak perempuannya sedang
sibuk mewadahi susu. "Bu, kita hanya mendapat beberapa kaleng hari
ini," kata anak perempuan itu. "Mungkin karena musim kemarau, air
susu kambing kita jadi sedikit." "Benar anakku," kata ibunya. "Tapi
jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita akan gemuk.
Kita bisa memerah susu sangat banyak," harap anaknya. "Hmmm.....,
sejak ayahmu meninggal penghasilan kita sangat menurun. Bahkan dari hari ke
hari rasanya semakin berat saja. Aku khawatir kita akan kelaparan," kata
ibunya.
Anak perempuan itu terdiam. Tangannya
sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah terisi susu. "Nak," bisik
ibunya seraya mendekat. "Kita campur saja susu itu dengan air. Supaya
penghasilan kita cepat bertambah." Anak perempuan itu tercengang.
Ditatapnya wajah ibu yang keriput. Ah, wajah itu begitu lelah dan letih
menghadapi tekanan hidup yang amat berat. Ada rasa sayang yang begitu besar di
hatinya. Namun, ia segera menolak keinginan ibunya. "Tidak, bu!"
katanya cepat. "Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu
dengan air." Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja
yang berbuat curang kepada pembeli. "Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah
itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak
melakukan sesuatu," gerutu ibunya kesal. "Ibu, hanya karena kita
ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku curang pada
pembeli?" "Tapi, tidak akan ada yang tahu kita mencampur susu dengan
air! Tengah malam begini tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tidak
akan tahu perbuatan kita," kata ibunya tetap memaksa. "Ayolah, Nak,
mumpung tengah malam. Tak ada yang melihat kita!"
"Bu, meskipun tidak ada seorang pun
yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap
melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apa pun kita
menyembunyikannya, "tegas anak itu. Ibunya hanya menarik nafas panjang. Sungguh
kecewa hatinya mendengar anaknya tak mau menuruti suruhannya. Namun, jauh di
lubuk hatinya ia begitu kagum akan kejujuran anaknya."Aku tidak mau
melakukan ketidakjujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin Allah tetap
selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,"kata anak itu. Tanpa
berkata apa-apa, ibunya pergi ke kamar. Sedangkan anak perempuannya
menyelesaikan pekerjaannya hingga beres.
Di luar bilik, Khalifah Umar
tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu. " Sudah sepantasnya ia
mendapatkan hadiah!" gumam khalifah Umar. Khalifah Umar beranjak
meniggalkan gubuk itu. Kemudian ia cepat-cepat pulang ke rumahnya. Keesokan
paginya, khalifah Umar memanggil putranya, Ashim bin Umar. Di ceritakannya
tentang gadis jujur penjual susu itu. " Anakku, menikahlah dengan gadis
itu. Ayah menyukai kejujurannya," kata khalifah Umar. " Di zaman
sekarang, jarang sekali kita jumpai gadis jujur seperti dia. Ia bukan takut
pada manusia. Tapi takut pada Allah yang Maha Melihat." Ashim bin Umar
menyetujuinya. Sesudah Ashim menikah dengan gadis itu, kehidupan mereka sangat
bahagia. Keduanya membahagiakan orangtuanya dengan penuh kasih sayang. Beberapa
tahun kemudian mereka dikaruniai anak dan cucu yang kelak akan menjadi orang
besar dan memimpin bangsa Arab, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Saudaraku, begitulah takdir Allah
berlaku terhadap 2 kisah di atas, semuanya tentang keyakinan bahwa Allah Maha
Melihat, Allah Maha Menyaksikan. Karena yakin Allah Maha Melihat, si
penggembala kambing dan anak penjual susu enggan untuk berbuat curang walaupun
secara kasat mata hal itu memberi keuntungan duniawi dan mungkin tidak akan ada
manusia lain yang akan menyalahkan. Dan Allah menunjukkan dengan begitu nyata,
keteguhan menahan diri dari berbuat curang itu langsung berbalas kebaikan dan
kebahagiaan. Putri sang penjual susu menjadi menantu seorang khalifah dan
menjadi Ibu dari khalifah termasyhur, Umar bin Abdul Aziz. Sekali lagi, inilah
berkah dari cara pandang keimanan, yang kadang memang tidak selalu sejalan
dengan nalar logika manusia. Yakini saja, itu kuncinya!. Maka, Marilah kita
berusaha untuk juga meyakininya, agar kita istiqomah dalam kebaikan walaupun
tanpa pujian dan tepuk tangan, dan kita punya keteguhan dalam bertahan menahan
diri dari kemaksiatan, semuanya karena keyakinan bahwa Allah Maha Melihat,
Allah Maha Menyaksikan. [mukti_give]