Ada yang Setia Mengawasi Kita

    
Perkenankan kami berbagi kisah dari buku karya Ahmad Zairofi AM, Lelaki Pendek, Hitam & Lebih Jelek dari Untanya, tentang seorang lelaki tua. Nasib lelaki tua itu benar-benar mengenaskan. Tragis. Ia telah enam belas tahun dikurung di penjara bawah tanah, di masa kekuasaan Al Muqtadir Billah. Tidak itu saja, sehari-hari ia harus menjalani hukuman menahan beban besi di tubuhnya.
Sebelumnya ia seorang pedagang sukses. Hidupnya lapang. Dengan penuh semangat ia mencari rezeki ke pasar. Tapi segalanya berubah sejak suatu malam yang belum lagi larut. Ia memenuhi undangan seorang temannya sesama pedagang pasar. Di tengah jalan, tiba-tiba ia melihat banyak lilin menyala di dekat sebuah toko. Di dekat lilin itu berserakan kayu. Sedang pintu toko itu sedikit terbuka.
Seketika ia berusaha menjauhkan api-api itu, sebab bila tidak akan membakar kayu-kayu dan kemudian toko itu. Ia bergegas melihat apa yang terjadi. Ia masuk ke toko itu, setelah sebelumnya menyingkirkan api yang mulai membakar kayu. Betapa terkejutnya ketika ia sampai di dalam toko, ada seonggok mayat lelaki yang baru saja terbunuh, dengan pisau yang masih menancap di dadanya.
Rupanya orang itu dibunuh, kemudian pelakunya hendak menghilangkan jejak dengan membakar toko itu. Seperti kisah-kisah klasik tentang kebakaran toko atau pasar di masa kini yang sulit dibedakan antara terbakar sendiri atau dibakar. Sejak dulu, kebakaran dan pembakaran, mungkin benar-benar hanya beda pada huruf-huruf awalnya, tapi tidak substansinya.
Pada saat ia ada di dalam toko itu, bersamaan dengan itu lewatlah para petugas ronda. Salah seorang mereka diperintahkan komandannya untuk masuk. Begitu masuk ke dalam toko, petugas ronda mendapati lelaki tua itu bersama seonggok mayat di dekatnya. Maka, tanpa ampun lagi, ia pun dituduh sebagai pembunuhnya.
Lelaki itu diseret ke tempat interogasi. Ia dipukuli, disiksa dengan tuduhan sebagai pembunuh. Tetapi ia tetap tidak mau mengaku, karena memang bukan dia yang melakukannya. Keluarganya berkumpul, membawa bukti-bukti dan saksi. Akhirnya ia tidak dihukum mati. Sebagai gantinya, ia dimasukkan ke penjara bawah tanah dengan siksaan yang tak pernah henti setiap hari.
Tahun demi tahun berlalu dengan penuh kepedihan. Ini benar-benar kesulitan diatas kesulitan. Enam belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Tapi lelaki itu tak pernah berhenti berharap. Kesulitan harus punya takdir selesainya. “Demi Allah, aku adalah orang yang terdzolimi. Apa pedulimu?! Demi Allah, aku tidak akan berputus asa dengan siksaan seperti ini dari mengharap anugerah Allah. Pasti sesaat demi sesaat kelapangan pasti akan tiba,” ucap lelaki itu kepada Abu Ali Al Wakil, seorang tokoh ulama di masa itu yang menemuinya di penjara bawah tanah.
Tiba-tiba terdengar suara sangat gaduh. Penjara dijebol dan banyak orang yang bisa menerobos ke penjara bawah tanah. Setelah itu, mereka mengeluarkan semua orang yang ada di sana, termasuk laki-laki tua tadi. Hari itu ternyata telah terjadi kekacauan besar melawan kekuasaan Al Muqtadir. Melengkapi kisah tanah Irak yang tak pernah berhenti bergolak, dari dulu hingga sekarang. Kisah Al Wakil tentang lelaki tua itupun berhenti disitu. Huru hara meluas, manusia berhamburan. Lelaki itu berjalan tertatih, lalu lenyap mengiringi Irak yang bergumul dalam pertikaian politik dan gejolak sosial.
Lelaki itu mungkin hanya meninggalkan sepotong kalimat,” Aku tidak akan berputus asa dari mengharap anugerah Allah.” Sepertinya sederhana, pendek dan sepintas hanya terkesan kalimat basa-basi orang-orang yang harus menghibur dirinya sendiri. Tapi sejujurnya, itulah inti segalanya.
Enam belas tahun bukan waktu yang singkat. Sepanjang itu, dia harus meyakini dua hal sekaligus. Yakin, bahwa dirinya tidak salah. Dan karenanya ia yakin akan pertolongan Allah. Itu keyakinan kedua yang lebih sulit. Sebab yang ia rasakan secara fisik benar-benar mengguncang. Seorang tua harus menanggung beban dan siksaan fisik dalam waktu selama itu.
Dan kalau boleh kami menambahkan, keyakinan ketiga yang dipegang erat oleh lelaki tua ini adalah tentang sifat Allah, yang Maha Tahu, Maha Melihat. Ketika di awal kisah ini kita tahu, dalam pandangan petugas ronda, tidak bisa dipungkiri bahwa lelaki tua ini adalah satu-satunya tersangka, karena sedang berada dalam toko dan bersamanya ada seonggok mayat. Itulah pandangan manusia. Akan tetapi, lelaki itu sangat paham bahwa Allah Maha Melihat, dan Allah pasti akan menunjukkan jalan kebenaran. Meyakini bahwa Allah Maha tahu, Maha Melihat dan karena itulah ia tak henti berharap.
Itulah rahasia iman. Orang-orang beriman selalu punya caranya sendiri untuk bisa menata hatinya, meski berlawanan dengan apa yang dilihat oleh matanya, atau apa yang dirasakan oleh fisiknya, atau apa yang ia terima dalam kehidupannya. Saat ia mendapat musibah, air matanya mengalir, tapi hatinya terilhami untuk meyakini bahwa apa yang diberikan Allah pada dirinya pasti yang terbaik baginya. Saat ia mendapatkan kesulitan demi kesulitan seakan berentetan tanpa ujung, fisiknya mungkin lelah. Kepalanya mungkin pusing. Pikirannya mungkin sangat penat. Tapi itu justru mengilhami hatinya untuk terus meyakini bahwa bila seorang diuji oleh Allah, itu tandanya Allah masih sayang dengan orang itu.
Allah Maha Tahu, Allah Maha Melihat. Kita harus berupaya menanamkan pemahaman yang benar tentang sifat Allah ini karena efeknya akan sangat baik bagi kehidupan kita. Yakin bahwa Allah Maha Melihat, maka kita tidak akan begitu mudah untuk berbuat maksiat. Di sisi lain, kita juga akan memiliki keteguhan untuk terus berbuat baik, walaupun mungkin tanpa tepuk tangan, pujian dan apresiasi yang pantas dari manusia, tetapi kita yakin bahwa Allah melihat amal kita itu, dan Allah pasti mencatatnya serta kelak pasti berbalas kebaikan pula dari-Nya. Hal jazaaul ihsan illal-ihsan. Tiada balasan untuk kebaikan melaikan kebaikan pula (Ar Rahmaan:60).
Jika kisah lelaki tua di atas adalah tentang keyakinan bahwa Allah Maha Melihat segala amal kebaikan dan kebenaran yang manusia lakukan sehingga menumbuhkan harapan, maka 2 kisah berikut ini adalah tentang keyakinan bahwa Allah Maha Melihat yang menumbuhkan sifat enggan bahkan takut pada diri manusia untuk berbuat salah dan maksiat.
Alkisah, suatu hari Sayyidina Umar bin Khattab berkeliling meninjau wilayah perkampungannya. Di tengah perjalanan, Umar melihat seorang budak kecil yang sedang menggembala puluhan kambing. Dalam benaknya, Umar ingin menguji kepintaran budak kecil si penggembala kambing tersebut. Umar lalu mendekati budak itu dan mengutarakan niatnya untuk membeli sebuah kambing yang digembala si bocah. “Nak, kambingmu saya beli satu boleh?” tanya Umar mengawali perbincangannya. “Saya ini budak, saya tidak memiliki kewenangan untuk menjual kambing ini. Semua kambing milik majikan saya tuan,” jawab si penggembala dengan kejujurannya. “Meski milik majikanmu, kalau saya beli satu nanti kamu laporan kepada majikan bahwa kambing yang kamu gembala dimakan macan satu ekor,” timpal Umar menguji dengan pura-pura mengajari sikap berbohong.
Dalam pikiran Umar, si budak ini pasti akan melepaskan satu ekor untuk dijual kepadanya. Namun tak diduga si Budak kecil ini memberikan jawaban lain. “Saya tidak mau melakukan itu tuan, karena semuanya nanti bisa kelihatan. Meski juragan (pemilik kambing) tidak tahu tetapi Allah akan mengerti dan mengetahui yang saya lakukan,” jawab si budak tegas. Mendengar jawaban itu, Sayyidina Umar seketika menangis seraya menepuk-nepuk bangga di pundak punggung si budak. Dari peristiwa ini, Sayyidina Umar mendapat ilmu dari bocah penggembala.
Kisah yang kedua, masih tentang Umar bin Khattab, kali ini dengan penjual susu. Khalifah Umar bin Khattab sering melakukan ronda malam sendirian. Sepanjang malam ia memeriksa keadaan rakyatnya langsung dari dekat. Ketika melewati sebuah gubuk, Khalifah Umar merasa curiga melihat lampu yang masih menyala. Di dalamnya terdengar suara orang berbisik-bisik.
Khalifah Umar menghentikan langkahnya. Ia penasaran ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Dari balik bilik Kalifah umar mengintipnya. Tampaklah seorang ibu dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu. "Bu, kita hanya mendapat beberapa kaleng hari ini," kata anak perempuan itu. "Mungkin karena musim kemarau, air susu kambing kita jadi sedikit." "Benar anakku," kata ibunya. "Tapi jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita akan gemuk. Kita bisa memerah susu sangat banyak," harap anaknya. "Hmmm....., sejak ayahmu meninggal penghasilan kita sangat menurun. Bahkan dari hari ke hari rasanya semakin berat saja. Aku khawatir kita akan kelaparan," kata ibunya.
Anak perempuan itu terdiam. Tangannya sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah terisi susu. "Nak," bisik ibunya seraya mendekat. "Kita campur saja susu itu dengan air. Supaya penghasilan kita cepat bertambah." Anak perempuan itu tercengang. Ditatapnya wajah ibu yang keriput. Ah, wajah itu begitu lelah dan letih menghadapi tekanan hidup yang amat berat. Ada rasa sayang yang begitu besar di hatinya. Namun, ia segera menolak keinginan ibunya. "Tidak, bu!" katanya cepat. "Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air." Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli. "Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu," gerutu ibunya kesal. "Ibu, hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku curang pada pembeli?" "Tapi, tidak akan ada yang tahu kita mencampur susu dengan air! Tengah malam begini tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita," kata ibunya tetap memaksa. "Ayolah, Nak, mumpung tengah malam. Tak ada yang melihat kita!"
"Bu, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan kita serapi apa pun kita menyembunyikannya, "tegas anak itu. Ibunya hanya menarik nafas panjang. Sungguh kecewa hatinya mendengar anaknya tak mau menuruti suruhannya. Namun, jauh di lubuk hatinya ia begitu kagum akan kejujuran anaknya."Aku tidak mau melakukan ketidakjujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,"kata anak itu. Tanpa berkata apa-apa, ibunya pergi ke kamar. Sedangkan anak perempuannya menyelesaikan pekerjaannya hingga beres.
 Di luar bilik, Khalifah Umar tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu. " Sudah sepantasnya ia mendapatkan hadiah!" gumam khalifah Umar. Khalifah Umar beranjak meniggalkan gubuk itu. Kemudian ia cepat-cepat pulang ke rumahnya. Keesokan paginya, khalifah Umar memanggil putranya, Ashim bin Umar. Di ceritakannya tentang gadis jujur penjual susu itu. " Anakku, menikahlah dengan gadis itu. Ayah menyukai kejujurannya," kata khalifah Umar. " Di zaman sekarang, jarang sekali kita jumpai gadis jujur seperti dia. Ia bukan takut pada manusia. Tapi takut pada Allah yang Maha Melihat." Ashim bin Umar menyetujuinya. Sesudah Ashim menikah dengan gadis itu, kehidupan mereka sangat bahagia. Keduanya membahagiakan orangtuanya dengan penuh kasih sayang. Beberapa tahun kemudian mereka dikaruniai anak dan cucu yang kelak akan menjadi orang besar dan memimpin bangsa Arab, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Saudaraku, begitulah takdir Allah berlaku terhadap 2 kisah di atas, semuanya tentang keyakinan bahwa Allah Maha Melihat, Allah Maha Menyaksikan. Karena yakin Allah Maha Melihat, si penggembala kambing dan anak penjual susu enggan untuk berbuat curang walaupun secara kasat mata hal itu memberi keuntungan duniawi dan mungkin tidak akan ada manusia lain yang akan menyalahkan. Dan Allah menunjukkan dengan begitu nyata, keteguhan menahan diri dari berbuat curang itu langsung berbalas kebaikan dan kebahagiaan. Putri sang penjual susu menjadi menantu seorang khalifah dan menjadi Ibu dari khalifah termasyhur, Umar bin Abdul Aziz. Sekali lagi, inilah berkah dari cara pandang keimanan, yang kadang memang tidak selalu sejalan dengan nalar logika manusia. Yakini saja, itu kuncinya!. Maka, Marilah kita berusaha untuk juga meyakininya, agar kita istiqomah dalam kebaikan walaupun tanpa pujian dan tepuk tangan, dan kita punya keteguhan dalam bertahan menahan diri dari kemaksiatan, semuanya karena keyakinan bahwa Allah Maha Melihat, Allah Maha Menyaksikan. [mukti_give]