Mungkin, di masa sekarang memang sangat
sulit ditemui atau bahkan tidak akan bisa ditemui lagi orang semulia Abu Bakar.
Tindakan beliau yang sampai memuntahkan kembali makanan yang sudah masuk ke
perut adalah hal yang langka saat ini. Justru yang jamak ditemui sekarang
adalah orang-orang yang berebutan untuk memuaskan nafsu mulutnya, tanpa terlalu
memikirkan sumber dan proses memperoleh apa-apa yang dimasukkan ke mulutnya
itu. Begitulah Abu Bakar, yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah, bahwa
seandainya iman seluruh manusia itu ditimbang, maka itu tidak akan bisa
menyamai “berat”nya iman Abu Bakar. Maka teladan ini adalah sebuah panutan dan
tuntunan untuk kita perhatikan, yaitu tentang apa-apa yang kita makan, yang
kita minum, yang kita pakai dan yang kita pergunakan untuk diri kita ini,
darimana ia berasal, bagaimana cara memperolehnya, serta dimanfaatkan untuk
apa.
Menarik jika kita sejenak membaca apa
yang dituliskan ustadz Salim A. Fillah dalam buku Lapis-lapis Keberkahan tentang sebuah keluarga kecil dan caranya
memaknai harta, cara memperolehnya dan digunakan untuk apa.
“Maaf ya, rumahnya kecil,” kata pemuda
itu pada istrinya sebakda pernikahan. ‘Kontrakan pula.” Dia berusaha tersenyum
meski ada yang terasa membebani.
“Tak apa.” Ujar sang istri denan wajah
ridha lagi bahagia. Senyumnya mengembang sempurna. “Jangan terlalu dipikirkan,”
lanjutnya, “yang sempit akan terasa luas asalkan hati kita juga lapang.”
Hati lelaki muda itu tiba-tiba seperti
disergap sejuk embun pegunungan. Tapi tetap dijajakinya pemahaman istrinya.
“Bagaimana jika nantinya kita harus mengontrak rumah seumur hidup karena aku
tak sanggup membeli rumah untuk kita?”
Istrinya tersenyum lagi. “Tidak apa-apa
Sayang,” ujarnya kini dengan nada bermanja. “Punya rumah tidak wajib. Tak
memilikinya bukan berarti dosa. Kalau shalat baru wajib. Tidak shalat barulah
dosa.” Sang istri tertawa kecil, memperlihatkan betapa mais gigi gingsulnya.
Lelaki itu terhenyak makin kagum pada
wanita yang sebenarnya belum terlalu dikenalnya. Hanya dua atau tiga pertemuan
di rumah seorang ustadz. Tanya jawab singkat tapi bermaknalah yang membuat
mereka memutuskan menikah.
“Memangnya kamu tidak ingin punya rumah,
Sayang?” tanyanya berdebar. “Ingin sekali, amat sangat ingin,” sahut sang
istri, “yang besar, megah, mewah dan berada di tengah taman yang indah.”
“Wah,” timpal suaminya, ‘dengan keadaaan
sekarang, aku tidak tahu apakah sampai akhir hidupku aku akan mampu membelikan
untukmu.”
“Tenang saja, Sayang,” kata istrinya
dengan riang, “cukup bagi kita punya rumah di surga. Yang di dunia, kita
nikmati saja apa yang ada.”
Maka berjalanlah hidup pasangan muda itu
dengan keterbatasan yang disabari dan nikmat-nikmat tak terduga yang disyukuri.
Tiga sore dalam sepekan, rumah sewaan mereka ramai oleh anak-anak yang belajar
mengaji Al-Qur’an. Gema mereka mengeja huruf-huruf hijaiyyah menggetarkan
dinding-dindingnya. Gemuruh tilawah mereka menjadi senandung yang syahdu.
Tapi juga tingkah polah mereka beraneka.
Gedebag-gedebugnya rebut. Hingar-bingarnya gempar. Riuh-rendahnya semarak. Dan
suatu hari, dengan pensil warna, crayon, dan spidol, mereka menggambar dan
melukisi tembok-tembok ruang tamu bersahaja itu dengan sangat seru. Coret-moret
jadinya. Dan atas ketetapan Allah, saat mereka asyik menuangkan karya
abstraknya, datanglah sang pemilik rumah lantas marah-marah.
Tentu saja, dia merasa bahwa milik yang
dia amanahkan sebagai sewaan, telah dikotori dan dibuat berantakan oleh
anak-anak pengajian. Sebagian anak itu takut dan menangis. Sebagian yang lain
lari dan berolok-olok. Tapi jelas, majelis pengajian sore itu kacau acaranya.
Petang itu, di pundak suaminya, sang
istri menangis. “Kasihan anak-anak itu,” ujarnya di sela isak, “bagaimana kalau
mereka takut dan tak berani mengaji lagi? Beliau berlebihan, bukan? Kalau hanya
dinding dicorat-coreti, bukankah kapan waktu bisa dicat lagi?”
Diam-diam, di dalam hatinya, sang suami
merintih pada Rabbnya. “Ya Allah.” Lirihnya, “jika memiliki rumah itu baik, Ya
Allah; agar anak-anak yang mengaji ini jika berekspresi mencorat-coret tembok
kami tak perlu ada yang memarahi; maka kami tak keberatan jika Kau anugerahkan
tempat tingal yang mencukup sebagai milik kami.”
Dan mudah bagi Allah Yang Maha Pemberi
kaya mewujudkan permohonan. Mungkin bukan bersebab kedua sumai-istri itu telah
menyiapkan jawab jika ditanya untuk apa rumah yang mereka pinta. Tapi ini
karunia Allah, yang dengan jawaban itu insyaAllah akan bertambah ringan hisab
atasnnya di akhirat nanti. Sebulan kemudian, dengan cara yang sangat
menakjubkan, Allah anugerahkan mereka sebuah rumah yang melampaui semua
bayangan mereka dalam letak, ukuran, maupun kemudahan pembayarannya.
Mereka pun, bersama anak tercinta, masih
saja santai saja mengendarai sepeda motor ke mana-mana. Sampai orang-orang
menegur, andai sepeda motor itu bisa bicara, pastilah ia berteriak
mengungkapkan derita. Sebab penumpangnya yang berat-berat, betapa membebaninya.
Tapi setia kali hadai dan tekan menggoda agar mereka menggantinya dengan mobil
saja, sang istri berkata pada suaminya, “Mana bisa mobil membuat kami semesra
boncengan berdua?”
Hingga suatu hari sang istri menangis
lagi. Sebab dia melihat ibu tetangga dekat yang sudah harus cuci darah akibat
penyakit gagal ginjal, berangkat ke rumah sakit dibonceng suaminya yang sudah
berumur pula. Hujan turun deras, dan mereka tampak sangat kepayahan dalam basah
dan dingin menusuk.
“Ya Allah, kasihan mereka,” begitu gumam
wanita di sisinya yang membuat sang suami kembali melirihkan do’a. “Ya Allah,”
batinnya, “jika memiliki mobil itu baik; bisa digunakan mengantar tetangga cuci
darah rutin tanpa kehujanan, maka kami tidak keberatan dikaruniai mobil, ya
Allah.”
Dan mudah bagi Allah Yang Maha Pemberi
kaya mewujudkan permohonan. Mungkin bukan bersebab kedua suami-istri itu telah
menyiapkan jawab jika ditanya untuk apa mobil yang mereka pinta. Tapi ini
karunia Allah, yang dengan jawaban itu insyaAllah akan bertambah ringan hisab
atasnya di akhirat nanti. Lagi-lagi sebulan kemudian, dengan cara yang sangat
menakjubkan, Allah anugerahkan mereka sebuah mobil yang melampaui semua
bayangan mereka tentang merek, model, umur, kenyamanan, maupun kemudahan
pembayaran.
Begitulah kisah yang disampaikan, dan
agar lebih mendalami lagi hikmah pelajaran yang bisa dipetik, maka ada bagian
dari realita kehidupan sehari-hari yang kiranya juga patut diperhatikan. Saat
kita masa kanak-kanak, atau pun bagi saudara sekalian yang sudah mempunyai
anak, cobalah diingat ketika anak-anak itu meminta sesuatu. Misalnya begini,
“Bunda, aku minta uang, 10 ribu saja!” . di benak sang anak, mungkin sudah
tergambar sekian banyak ingin yang bisa dibeli dengan 10ribu itu, atau mungkin
dia hanya ingin memegang uang saja. Namun kemudian, sang bunda, sebagaimana orang
tua pada umumnya, saat anaknya meminta seperti itu, maka akan tercetus sebuah
tanya, “buat apa, Nak? Untuk apa ,Nak?”.
Nah!, itulah hikmah besar dari kisah
keluarga kecil tadi. Itu menentukan sikap kita terhadap harta. Jika kisah Abu
Bakar RA meneladankan cara pandang tentang harta terkait darimana asal
memperolehnya, sedangkan kisah keluarga kecil tadi adalah mengenai harta kita
digunakan untuk apa.
Mengapa dua hal tentang harta itu
penting kita perhatikan? Karena ini tentang masa depan, bukan hanya masa depan
di dunia, tetapi lebih ke masa depan di akhirat. Tentang pertanyaan dari Allah
kelak di hari perhitungan, “dengan cara apa kau memperoleh hartamu?” dan “untuk
apa kau membelanjakan hartamu?”. Dalam riwayat Imam Al Baihaqi, Rasulullah
bersabda : “ketika seorang hamba dihadapkan kepada Allah maka ditampakkanlah
kepadanya semua nikmat yang telah Allah karuniakan padanya. Dan dia pun
mengakui hal itu. Lalu diperlihatkan kepadanya semua amal yang telah dia
lakukan dengan anugerah Rabbnya itu, hingga dia merasa sangat malu karenanya.
Dia malu karena banyaknya hal nista yang tertampil di sana. Dia malu karena
justru rizqi dari Yang Maha Memberi, dia gunakan untuk mendurhakai Sang
Pengarunia. Rasa malu itu sangat parah mencekam jiwanya sampai-sampai
keringatnya mengucur deras. Maka di hadapan hisab itu, hamba-hamba Allah akan
tenggelam di dalam keringatnya sendiri. Ada yang tergenang hingga mata kaki.
Ada yang terbenam hingga lutut. Ada yang terbenam hingga pundak. Dan ada yang
tenggelam hingga kepala.”
Terbayang kengerian dari hisab terhadap
harta, maka sepatutnya mulai sekarang kita harus memperhatikan dengan serius,
bagaimana cara memperoleh harta.
Sudahkan bersumber dari yang halal dan kita dapatkan dengan proses yang halal
pula. Kemudian, penting juga kita memiliki cita nan mulia terhadap pemanfaatan
harta. Selayaknya, sebelum berpeluh berburu harta, kita hadirkan dulu dalam
benak, kira-kira untuk apa nanti harta itu. Ini kita lakukan dengan harapan
agar memperingan hisab harta karena telah kita siapkan jawabnya.
Dalam hadits riwayat Ahmad, Rasulullah bersabda
: “sebaik-baik harta yang baik (dan halal)
adalah harta yang dimiliki seseorang yang sholih”. Dalam hadits yang
lain, diriwayatkan “Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertaqwa. Dan
sehat bagi orang yang bertaqwa itu kebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian
dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad). Peringatan akan kengerian hisab
harta diiringi solusi cerdas dari Rasulullah berdasarkan hadits di atas. Sholih
dan bertaqwa, dengan dua hal ini harta menjadi sarana amal yang insyaAllah bisa
menjadi jalan ke surga. Maka, mari iringkan langkah diri untuk selalu bertambah
sholih dan taqwa bersama dengan peluh kita dalam mencari harta dari sumber yang
benar, dengan cara yang halal dan memanfaatkannya untuk langkah-langkah yang
semakin mendekatkan ke pintu surga. [mukti_give].