Masa Depan Harta Kita

 
 Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia berkata : “Abu Bakar pernah memiliki seorang budak yang dibebani bagi hasil harian dari keuntungan usahanya, dan Abu Bakar memang sudah biasa memakan dari uang bagi hasil itu. Suatu hari budak tersebut membawakan makanan, lalu Abu Bakar memakannya. Budak tersebut lalu berkata kepadanya : “Tahukah engkau, dari manakah makanan ini?” Abu Bakar menjawab : “Memang dari mana?” Budak menjawab : “Aku baru saja melakukan peramalan untuk seseorang dari kalangan jahiliyyah dan aku tidak melakukannya dengan sungguhan, melainkan hanya mengibulinya. Selanjutnya, orang tersebut menemuiku dan memberi makanan ini. Itulah makanan yang engkau makan itu. Abu Bakar pun lalu memasukkan jari tangannya ke dalam tekaknya, sehingga dia pun memuntahkan semua makanan yang telah masuk ke dalam perutnya itu.
Mungkin, di masa sekarang memang sangat sulit ditemui atau bahkan tidak akan bisa ditemui lagi orang semulia Abu Bakar. Tindakan beliau yang sampai memuntahkan kembali makanan yang sudah masuk ke perut adalah hal yang langka saat ini. Justru yang jamak ditemui sekarang adalah orang-orang yang berebutan untuk memuaskan nafsu mulutnya, tanpa terlalu memikirkan sumber dan proses memperoleh apa-apa yang dimasukkan ke mulutnya itu. Begitulah Abu Bakar, yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah, bahwa seandainya iman seluruh manusia itu ditimbang, maka itu tidak akan bisa menyamai “berat”nya iman Abu Bakar. Maka teladan ini adalah sebuah panutan dan tuntunan untuk kita perhatikan, yaitu tentang apa-apa yang kita makan, yang kita minum, yang kita pakai dan yang kita pergunakan untuk diri kita ini, darimana ia berasal, bagaimana cara memperolehnya, serta dimanfaatkan untuk apa.
Menarik jika kita sejenak membaca apa yang dituliskan ustadz Salim A. Fillah dalam buku Lapis-lapis Keberkahan tentang sebuah keluarga kecil dan caranya memaknai harta, cara memperolehnya dan digunakan untuk apa.
“Maaf ya, rumahnya kecil,” kata pemuda itu pada istrinya sebakda pernikahan. ‘Kontrakan pula.” Dia berusaha tersenyum meski ada yang terasa membebani.
“Tak apa.” Ujar sang istri denan wajah ridha lagi bahagia. Senyumnya mengembang sempurna. “Jangan terlalu dipikirkan,” lanjutnya, “yang sempit akan terasa luas asalkan hati kita juga lapang.”
Hati lelaki muda itu tiba-tiba seperti disergap sejuk embun pegunungan. Tapi tetap dijajakinya pemahaman istrinya. “Bagaimana jika nantinya kita harus mengontrak rumah seumur hidup karena aku tak sanggup membeli rumah untuk kita?”
Istrinya tersenyum lagi. “Tidak apa-apa Sayang,” ujarnya kini dengan nada bermanja. “Punya rumah tidak wajib. Tak memilikinya bukan berarti dosa. Kalau shalat baru wajib. Tidak shalat barulah dosa.” Sang istri tertawa kecil, memperlihatkan betapa mais gigi gingsulnya.
Lelaki itu terhenyak makin kagum pada wanita yang sebenarnya belum terlalu dikenalnya. Hanya dua atau tiga pertemuan di rumah seorang ustadz. Tanya jawab singkat tapi bermaknalah yang membuat mereka memutuskan menikah.
“Memangnya kamu tidak ingin punya rumah, Sayang?” tanyanya berdebar. “Ingin sekali, amat sangat ingin,” sahut sang istri, “yang besar, megah, mewah dan berada di tengah taman yang indah.”
“Wah,” timpal suaminya, ‘dengan keadaaan sekarang, aku tidak tahu apakah sampai akhir hidupku aku akan mampu membelikan untukmu.”
“Tenang saja, Sayang,” kata istrinya dengan riang, “cukup bagi kita punya rumah di surga. Yang di dunia, kita nikmati saja apa yang ada.”
Maka berjalanlah hidup pasangan muda itu dengan keterbatasan yang disabari dan nikmat-nikmat tak terduga yang disyukuri. Tiga sore dalam sepekan, rumah sewaan mereka ramai oleh anak-anak yang belajar mengaji Al-Qur’an. Gema mereka mengeja huruf-huruf hijaiyyah menggetarkan dinding-dindingnya. Gemuruh tilawah mereka menjadi senandung yang syahdu.
Tapi juga tingkah polah mereka beraneka. Gedebag-gedebugnya rebut. Hingar-bingarnya gempar. Riuh-rendahnya semarak. Dan suatu hari, dengan pensil warna, crayon, dan spidol, mereka menggambar dan melukisi tembok-tembok ruang tamu bersahaja itu dengan sangat seru. Coret-moret jadinya. Dan atas ketetapan Allah, saat mereka asyik menuangkan karya abstraknya, datanglah sang pemilik rumah lantas marah-marah.
Tentu saja, dia merasa bahwa milik yang dia amanahkan sebagai sewaan, telah dikotori dan dibuat berantakan oleh anak-anak pengajian. Sebagian anak itu takut dan menangis. Sebagian yang lain lari dan berolok-olok. Tapi jelas, majelis pengajian sore itu kacau acaranya.
Petang itu, di pundak suaminya, sang istri menangis. “Kasihan anak-anak itu,” ujarnya di sela isak, “bagaimana kalau mereka takut dan tak berani mengaji lagi? Beliau berlebihan, bukan? Kalau hanya dinding dicorat-coreti, bukankah kapan waktu bisa dicat lagi?”
Diam-diam, di dalam hatinya, sang suami merintih pada Rabbnya. “Ya Allah.” Lirihnya, “jika memiliki rumah itu baik, Ya Allah; agar anak-anak yang mengaji ini jika berekspresi mencorat-coret tembok kami tak perlu ada yang memarahi; maka kami tak keberatan jika Kau anugerahkan tempat tingal yang mencukup sebagai milik kami.”
Dan mudah bagi Allah Yang Maha Pemberi kaya mewujudkan permohonan. Mungkin bukan bersebab kedua sumai-istri itu telah menyiapkan jawab jika ditanya untuk apa rumah yang mereka pinta. Tapi ini karunia Allah, yang dengan jawaban itu insyaAllah akan bertambah ringan hisab atasnnya di akhirat nanti. Sebulan kemudian, dengan cara yang sangat menakjubkan, Allah anugerahkan mereka sebuah rumah yang melampaui semua bayangan mereka dalam letak, ukuran, maupun kemudahan pembayarannya.
Mereka pun, bersama anak tercinta, masih saja santai saja mengendarai sepeda motor ke mana-mana. Sampai orang-orang menegur, andai sepeda motor itu bisa bicara, pastilah ia berteriak mengungkapkan derita. Sebab penumpangnya yang berat-berat, betapa membebaninya. Tapi setia kali hadai dan tekan menggoda agar mereka menggantinya dengan mobil saja, sang istri berkata pada suaminya, “Mana bisa mobil membuat kami semesra boncengan berdua?”
Hingga suatu hari sang istri menangis lagi. Sebab dia melihat ibu tetangga dekat yang sudah harus cuci darah akibat penyakit gagal ginjal, berangkat ke rumah sakit dibonceng suaminya yang sudah berumur pula. Hujan turun deras, dan mereka tampak sangat kepayahan dalam basah dan dingin menusuk.
“Ya Allah, kasihan mereka,” begitu gumam wanita di sisinya yang membuat sang suami kembali melirihkan do’a. “Ya Allah,” batinnya, “jika memiliki mobil itu baik; bisa digunakan mengantar tetangga cuci darah rutin tanpa kehujanan, maka kami tidak keberatan dikaruniai mobil, ya Allah.”
Dan mudah bagi Allah Yang Maha Pemberi kaya mewujudkan permohonan. Mungkin bukan bersebab kedua suami-istri itu telah menyiapkan jawab jika ditanya untuk apa mobil yang mereka pinta. Tapi ini karunia Allah, yang dengan jawaban itu insyaAllah akan bertambah ringan hisab atasnya di akhirat nanti. Lagi-lagi sebulan kemudian, dengan cara yang sangat menakjubkan, Allah anugerahkan mereka sebuah mobil yang melampaui semua bayangan mereka tentang merek, model, umur, kenyamanan, maupun kemudahan pembayaran.
Begitulah kisah yang disampaikan, dan agar lebih mendalami lagi hikmah pelajaran yang bisa dipetik, maka ada bagian dari realita kehidupan sehari-hari yang kiranya juga patut diperhatikan. Saat kita masa kanak-kanak, atau pun bagi saudara sekalian yang sudah mempunyai anak, cobalah diingat ketika anak-anak itu meminta sesuatu. Misalnya begini, “Bunda, aku minta uang, 10 ribu saja!” . di benak sang anak, mungkin sudah tergambar sekian banyak ingin yang bisa dibeli dengan 10ribu itu, atau mungkin dia hanya ingin memegang uang saja. Namun kemudian, sang bunda, sebagaimana orang tua pada umumnya, saat anaknya meminta seperti itu, maka akan tercetus sebuah tanya, “buat apa, Nak? Untuk apa ,Nak?”.
Nah!, itulah hikmah besar dari kisah keluarga kecil tadi. Itu menentukan sikap kita terhadap harta. Jika kisah Abu Bakar RA meneladankan cara pandang tentang harta terkait darimana asal memperolehnya, sedangkan kisah keluarga kecil tadi adalah mengenai harta kita digunakan untuk apa.
Mengapa dua hal tentang harta itu penting kita perhatikan? Karena ini tentang masa depan, bukan hanya masa depan di dunia, tetapi lebih ke masa depan di akhirat. Tentang pertanyaan dari Allah kelak di hari perhitungan, “dengan cara apa kau memperoleh hartamu?” dan “untuk apa kau membelanjakan hartamu?”. Dalam riwayat Imam Al Baihaqi, Rasulullah bersabda : “ketika seorang hamba dihadapkan kepada Allah maka ditampakkanlah kepadanya semua nikmat yang telah Allah karuniakan padanya. Dan dia pun mengakui hal itu. Lalu diperlihatkan kepadanya semua amal yang telah dia lakukan dengan anugerah Rabbnya itu, hingga dia merasa sangat malu karenanya. Dia malu karena banyaknya hal nista yang tertampil di sana. Dia malu karena justru rizqi dari Yang Maha Memberi, dia gunakan untuk mendurhakai Sang Pengarunia. Rasa malu itu sangat parah mencekam jiwanya sampai-sampai keringatnya mengucur deras. Maka di hadapan hisab itu, hamba-hamba Allah akan tenggelam di dalam keringatnya sendiri. Ada yang tergenang hingga mata kaki. Ada yang terbenam hingga lutut. Ada yang terbenam hingga pundak. Dan ada yang tenggelam hingga kepala.”
Terbayang kengerian dari hisab terhadap harta, maka sepatutnya mulai sekarang kita harus memperhatikan dengan serius, bagaimana cara  memperoleh harta. Sudahkan bersumber dari yang halal dan kita dapatkan dengan proses yang halal pula. Kemudian, penting juga kita memiliki cita nan mulia terhadap pemanfaatan harta. Selayaknya, sebelum berpeluh berburu harta, kita hadirkan dulu dalam benak, kira-kira untuk apa nanti harta itu. Ini kita lakukan dengan harapan agar memperingan hisab harta karena telah kita siapkan jawabnya.
Dalam hadits riwayat Ahmad, Rasulullah bersabda : “sebaik-baik harta yang baik (dan halal)  adalah harta yang dimiliki seseorang yang sholih”. Dalam hadits yang lain, diriwayatkan “Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertaqwa. Dan sehat bagi orang yang bertaqwa itu kebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad). Peringatan akan kengerian hisab harta diiringi solusi cerdas dari Rasulullah berdasarkan hadits di atas. Sholih dan bertaqwa, dengan dua hal ini harta menjadi sarana amal yang insyaAllah bisa menjadi jalan ke surga. Maka, mari iringkan langkah diri untuk selalu bertambah sholih dan taqwa bersama dengan peluh kita dalam mencari harta dari sumber yang benar, dengan cara yang halal dan memanfaatkannya untuk langkah-langkah yang semakin mendekatkan ke pintu surga. [mukti_give].